Membangun Kesadaran Spiritual
Oleh : Muhammad Riswan Kawanda
Spiritualitas dalam diri manusia adalah perasaan tunduk dan tawadlu’ terhadap Sang Pencipta, Kekuasaan-Nya, dan Ilmu-Nya yang muncul lantaran kesadarannya terhadap hubungannya dengan Allah SWT, Pencipta Alam jagad raya ini. (lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, hal. 14). Kalau perasaan ini bersifat kontinu, maka seorang muslim akan senantiasa hidup dalam suasana iman. Dan itu akan membantunya untuk bisa terikat dengan syariah Allah SWT dengan perasaan ridlo dan hatinya tenteram.
Sayang, manusia sering lupa diri, lupa Allah SWT, dan lupa penciptaan dirinya oleh Allah SWT. Sehingga spiritualitas tidak muncul dalam dirinya. Allah SWT memberikan contoh orang seperti itu dalam firman-Nya:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" (QS. Yasin 78).
Orang yang lupa itu merasa heran, bagaimana mungkin tulang-belulang bisa dihidupkan kembali? Meragukan kekuasaan Allah SWT. Padahal amat mudah bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia pertama kalinya daripada sekedar mendaur ulang tulang-belulang itu.
Kenapa spiritualitas hilang pada diri seseorang? Jawabannya tentu lantaran tidak adanya atau hilangnya kesadaran spiritual itu. Maka bagaimana mewujudkan kesadaran spiritual? Dan bagaimana agar kesadaran spiritual itu bersifat kontinu? Tulisan ini akan menjelaskannya.
Mewujudkan kesadaran spiritual
Untuk mewujudkan kesadaran spiritual, maka seseorang harus memiliki spirit terlebih dahulu. Spirit dalam arti kesadaran hubungan dirinya dengan Allah SWT. Untuk itu dalam dirinya harus ada terlebih dahulu keimanan kepada Allah SWT, Pencipta dirinya, alam semesta, dan seluruh kehidupan yang ada. Itu tidak sulit.
Orang yang sedikit saja menggunakan akalnya untuk memikirkan keberadaan dirinya, kehidupannya, dan alam semesta yang ada di sekitarnya, akan menemukan kesimpulan bahwa di balik keberadaan manusia, alam semesta dan kehidupan di dunia ini, dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, ada Sang Pencipta (Al Khaliq) yang menciptakan semuanya itu. Al Quran pun membimbing akal manusia bahwa Sang Pencipta yang menjadi kreator dari alam semesta, manusia, dan kehidupan ini adalah Allah SWT.
Wahyu yang datang pertama kali kepada Rasulullah saw. langsung membimbing manusia kepada keberadaan Sang Pencipta manusia. Allah SWT berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al Alaq 1-2)
Al Quran juga merangsang manusia untuk memperhatikan alam semesta di sekitarnya untuk memperkuat spirit atau kesadaran itu. Allah SWT berfirman:
أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(17)وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(18)وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(19)وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(20)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al Ghasyiyah 17-20).
Setelah mengajak manusia memperhatikan bagaimana penciptaan onta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, Allah SWT langsung meminta kepada Rasulullah saw. untuk memberikan peringatan kepada manusia tentang adanya hubungan antara Allah SWT dengan makhluk-makhluk-Nya, yaitu hubungan penciptaan (shilatul-khalq). Dia SWT berfirman:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.(QS. Al Ghasyiyah 21).
As Shaabuni dalam Shafwatut Tafaasiir Juz III/526 menafsirkan ayat ini dengan : hai Muhammad, nasihatilah mereka dan peringatilah mereka agar takut kepada Allah, dan janganlah memprihatinkan kamu bila mereka tidak memperhatikan dan memikirkan kejadian-kejadian alam yang ada.
As Shabuni (idem) menerangkan, hikmah disebutnya empat hal di atas adalah bahwasanya Al Quran itu turun kepada bangsa Arab. Mereka sering kali bepergian melewati padang-padang pasir dan lembah-lembah terpisah dari manusia. Manusia bila jauh dari kota biasanya mudah merenung (tafakkur). Pertama yang dia lihat adalah onta yang ditungganginya, dia akan melihat keajaiban. Kalau dia melihat ke atas, maka tidak ada yang dia lihat selain langit. Kalau dia melihat kanan kiri, maka tiada terlihat kecuali gunung-gunung. Dan kalau dia melihat ke bawah, maka tiada yang dilihat kecuali bumi. Ibnu Katsir, yang dikutip As Shabuni, mengatakan bahwa Allah memberikan peringatan kepada orang Badwi agar mengambil bukti-bukti dari yang disaksikannya, yaitu onta yang dia tunggangi, langit yang ada di atas kepalanya, gunung yang ada di depannya, dan bumi yang ada di bawahnya, atas kekuasaan pencipta dan pembuatnya, yaitu Tuhan yang Maha Agung (ar Rabbul Azhiim), Sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur jagad raya ini yang tidak layak ibadah dilakukan kepada selain Dia (Mukhtashor Ibnu Katsir Juz 3/634).
Tentang keajaiban onta, As Shabuni mengutip kitab At Tashiil Juz 4/196 yang mengatakan : Allah SWT mengkhususkan menyebut onta (ibil) pada ayat di atas adalah karena onta merupakan binatang Arab yang paling utama, yang paling banyak manfaatnya yang dengannya dinamakan “perahu padang pasir” (safinatus shahraa). Maka perhatikanlah penciptaannya yang ajaib. Sebab, onta binatang padang pasir yang paling kuat. Namun demikian dia tunduk pada anak kecil yang lemah. Dia akan duduk untuk mendekatkan diri pada penumpangnya, lalu dia akan berdiri dengan membawa segala tumpangannya dengan segenap kekuatannya. Juga, onta tahan terhadap rasa lapar dan haus dalam perjalanan berhari-hari. Maha Suci Allay Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana!
Agar kesadaran spiritual tetap kontinu
Senantiasa “on” dalam kesadaran hubungan dengan Allah Sang Pencipta tidak mudah. Tapi bukan mustahil. Dan ini penting. Sebab, terjadinya kemaksiatan dan berbagai pelanggaran hukum Allah SWT adalah lantaran terjadinya “off” pada kesadaran hubungan dengan Allah SWT dan hilangnya spiritualitas pada diri seseorang. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
َلا يَزْنِي الزَّانِيُ حِيْنَ يَزْنِيُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلاَ يُسْرِقُ حِيْنَ يُسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ...
“Seorang pezina tidak akan berzina, jika saat berzina ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan meminum khamer jika saat meminumnya ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan mencuri jika saat mencuri itu ia dalam keadaan mukmin,…” (HR. Bukhariy)
Oleh karena itu, agar perbuatan kita senantiasa lurus, kita wajib mengupayakan agar kesadaran spiritual kita tetap kontinu.
Dan Islam memberikan berbagai jalan agar kesadaran spiritual itu tetap kontinu, antara lain: Pertama, senantiasa memperbaharui keimanan (tauhid) dan komitmen sebagai hamba Allah SWT yang membutuhkan petunjuk, pertolongan, dan perlindungan-Nya. Hal ini ditempuh dengan dzikir kalimat lailahaillallah, dan diperkuat dengan kalimat-kalimat dzikir lainnya seperti tasbih, tahmid, takbir, dan istighfar. Dilakukan setiap selesai sholat wajib, dan setiap kali ada kesempatan, khususnya malam hari menjelang tidur.
Kedua, berusaha memahami dan merasakan apa yang dibaca di dalam sholat, seperti pernyataan penyerahan diri dalam doa iftitah:
«وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ حَنِيْفاً مُسْلِماً وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى، ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ، وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Aku hadapkan wajahku kehadirat Sang Pencipta langit dan bumi sepenuh ketundukan dan kepasrahan diri, dan bukanlah aku dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Sang Penguasa semesta alam. Tiada sekutu apa pun bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintahkan sedang aku termasuk dari orang-orang muslim.”
Demikian pula pada saat mengucapkan kalimat :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus,(QS. Al Fatihah 5-6).
Ketiga, gemar bertafakkur dan memiliki tradisi berfikir, khususnya memikirkan dan memperhatikan keberadaan ciptaan-ciptaan Allah SWT. Allah menggelari Ulil Al Abab (Orang Yang Berakal) kepada orang yang senantiasa mengingat-Nya dan juga memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya (lihat QS. Ali Imran 191).
Keempat, memperbanyak membaca ayat-ayat Al Quran yang mengungkap aspek spiritual dari manusia, kehidupan, dan alam semesta sehingga spirit dan kesadaran spiritual dalam diri kita semakin meningkat (misal: QS. Ar Ra’du 1-7, An Nahl 1-21, Ar Ruum 19-27)
Kelima, memperbanyak membaca ayat-ayat yang menghubungkan dunia dengan akhirat, sehingga ada kesadaran bahwa hidup ini tidak hanya di dunia saja. Ada akhirat, dan segala sesuatu yang dilakukan di dunia pasti akan berdampak ke akhirat (misal: QS. Al Baqarah 281, Ali Imran 25, AL An’am 70, Al Muddatsir 38).
Keenam, memperbanyak puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, puasa hari putih (tiap tanggal 13,14,15 Hijriyah), hari Arafah (9 Dzulhijjah), hari Asyura (10 Muharram), dan hari Tasu’a (9 Muharram) sesuai dengan keterangan dalam hadits-hadits.
Ketujuh, senantiasa berupaya memecahkan persoalan-persoalan dengan syariah Allah SWT sebagai upaya memadukan kesadaran hubungan dengan Allah dengan perbuatan kita dalam rangka mencari ridlo-Nya. Para sahabat dulu biasa bertanya kepada Rasulullah saw. terhadap persoalan mereka.(lihat: QS. Al Baqarah 215, Al Anfal 1, Mujaadilah 1).
Dengan demikian seorang muslim akan sadar bahwa keberadaannya di dunia tiada lain kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia akan senantiasa berdisplin melaksanakan ibadat yang difardlukan dan gemar melaksanakan ibadat sunnah. Saat dia berdiri di atas batu di tepi laut, dia sadar betul bahwa batu tempatnya berpijak adalah ciptaan Allah SWT. Saat dia melihat ikan-ikan kecil yang bergerak berkejaran di dalam air dengan berbagai gerak dan kecepatannya yang khas, ia sadar bahwa kreator di balik fenomena itu adalah Allah SWT. Saat dia hendak mengambil ikan untuk dia makan, dia sadar bahwa Allah telah mensucikan air laut dan menghalalkan bangkai ikannya. Tatkala melihat transaksi para nelayan dan pedagang ikan di dermaga, dia sadar bahwa Allah menghendaki agar kaum muslimin hanya berdagang atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan, tidak saling menzalimi, tidak saling mencurangi, dan tidak memakan harta saudaranya dengan cara batil. Kalau dia seorang penguasa muslim, ia sadar, bahwa nelayan dan pedagang itu berhak atas kemudahan bermuamalah, keadilan, dan kesejahteraan hidup. Namun ia lebih sadar lagi bahwa, sebagai penguasa, dialah yang wajib memenuhi hak-hak rakyat itu.
Khatimah
Itulah sedikit gambaran orang yang telah terbangun kesadaran spiritualnya. Kesadaran spiritual yang tidak hanya di wilayah privat, tapi juga meliputi wilayah publik. Semoga kita termasuk orang seperti itu. Amin, ya Rabbal Alamin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar