HIDUP ADALAH PERBUATAN & HIDUP ADALAH PERJUANGAN.............

Selasa, 26 Juli 2011

TUJUAN MUSLIM DALAM KEHIDUPAN

Oleh : Muhammad Riswan Kawanda


Hakikat kebenaran terpenting setelah iman adalah agar manusia memahami  tujuan penciptaannya, yakni tujuan hidupnya yang wajib ia usahakan untuk mewujudkannya.  Allah befirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku “ (QS Adz Dzazriyat: 56)

Ibadah kepada Allah adalah iman kepada-Nya dan ta’at kepada-Nya.  Ta’at kepada-Nya adalah keterikatan terhadap seluruh hukum-hukum-Nya.  Taat bukan hanya terbatas amal-amal ibadah, akhlak dan mu’amalah saja, tetapi mencakup segala hal yang diperintahkan Allah dan segala hal yang dilarang. 
Esensinya tidak menyembah secara hak kecuali hanya kepada-Nya.  Tidak ada perintah dan larangan seorangpun yang wajib dipatuhi selain Dia SWT.  Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim, ia mendatangi  Nabi yang sedang membaca ayat :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“ Mereka menjadikan orang-orang besar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai rab selain Allah dan juga  (mempertuhankan) Al Masih putera Maryam.  Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia.  Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan “ (QS At Taubah : 31)

Lalu ‘Adi bin Hatim berkata : sungguh mereka tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.  Maka Rasul mengatakan : “ Memang mereka tidak menyembah (dengan gerakan ruku’ atau sujud), tetapi mereka (orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan bagi mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan bagi mereka sesuatu yang haram lalu mereka mengikutinya.  Itulah penyembahan mereka (orang-orang awam di kalangan Yahudi dan Nasrani) kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka”.
Atas dasar itu pemberian hak kepada seseorang untuk menghalalkan dan mengharamkan atau hak untuk menetapkan hukum (haqqut tasyri’) dan hak dita’ati jelas merupakan penyembahan kepadanya. Allah berfirman :

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Kamu tidak menyembah selain-Nya melainkan hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.  Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama mereka itu.  Sesungguhnya menetapkan hukum hanyalah milik Allah.  Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah kecuali Dia.  Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “ (QS. Yusuf : 40)

Hak ditaati yang dimiliki oleh penguasa, pemerintah, pemimpin, kedua orang tua, atau suami tidak lain adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada mereka.  Ibadah kepada Allah esensinya adalah penghambaan manusia kepada Allah SWT, yakni ketundukan kepada syari’at-Nya dan memerangi mereka yang menjadikan penentu hukum selain Allah atau selain syari’at Islam.  Juga memerangi orang yang keluar dari hukum yang ditentukan oleh Allah.  Hal ini ditunjukkan oleh nash-nash yang berisi perintah beramar ma’ruf nahi munkar, nash-nash tentang membantah kebatilan dengan bantahan yang lebih baik, nash-nash yang menjelaskan kebenaran, dan nash-nash untuk persuasi dan dakwah.  Juga nash-nash perintah menjalankan hukuman jilid, potong tangan, qishash, jihad untuk menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi dan meninggikan kalimat Allah.
Oleh karena itu, kita  lihat Rasulullah setelah mendirikan negara Islam di  Madinah al Munawarah dan memancangkan tiang-tiang negara, beliau saw. kemudian mengutus utusan-utusan kepada para raja dan menyeru mereka (para raja itu) kepada Islam.  Kita lihat Rasulullah dan para khalifah sesudah Beliau mengutus para pengemban dakwah, para mujahidin dan pasukan untuk menyeru manusia kepada iman untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dan berperang untuk menundukkan berbagi negeri dan para penduduknya kepada kekuasaan Islam.  Hal itu merupakan dakwah untuk menjadikan penghambaan hanya kepada Allah dan penentuan hukum hanya bagi Allah. 
Tujuan inilah yang merupakan konsepsi Islam dimana seorang muslim hidup dengannya.  Inilah yang tergambar dalam kepandaian sahabat yang mulia Rabi’ bin Amir yang membuat kaget Panglima Rustum, Panglima tentara Persia.  Rustum bertanya : Apa yang membuat anda datang ke sini?  Sahabat Rabi’ bin Amir menjawab : “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan hamba (manusia) dari penghambaan kepada hamba (manusia lain) kepada penghambaan kepada Allah SWT Pencipta hamba (rabbul ibad) dan mengeluarkan manusia kejahatan agama-agama kepada keadilan Islam dan dari kesempitan dunia kepada kelapangan dunia dan akhirat”.
Pemikiran ini sungguh telah jelas dan gamblang dalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah, dalam aktivitas-aktivitas Rasulullah dan dalam nash-nash yang sangat banyak jumlahnya.  Diantaranya akan kami uraikan. 
Allah berfirman :

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا

“Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua “ (QS. Al A’raf : 158)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا

“Dan tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk keseluruhan manusia sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan” (QS. Saba’ : 28)

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dari agama yang benar untuk dimenangkan atas seluruh agama sekalipun orang-orang musyrik membencinya “ (QS. At Taubah :33 dan Ash Shaf : 9)
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar yaitu orang-orang yang diberikan kepada mereka Al kitab sampai mereka membayar jizyah dari tangan mereka dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk “ (QS. At Taubah : 29).

Dan  Rasulullah bersabda :
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ (متفق عليه )
Barangsiapa yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah sebagai kalimat yang paling tinggi maka ia di jalan Allah “ (Mutafaqun ‘alaihi).

Demikianlah orang-orang kafir dipaksa untuk tunduk kepada kekuasaan Islam dan kepada kedaulatan syara’ sekalipun mereka tidak dipaksa masuk Islam sesuai firman Allah :

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
“ Tidak ada paksaan dalam agama “ (QS. Al Baqarah : 256 )

Tujuannya adalah agar tidak ada undang-undang yang dita’ati dan tidak ada syari’at yang diambil kecuali apa yang diperintahkan Allah dan tidak ada penentuan hukum kecuali hanya milik Allah.  Sesuai perintah Allah sebagian kekufuran, keyakinan dan ibadah mereka dibiarkan atas mereka.
Allah telah menjelaskan tujuan ini atas seluruh makhluk ciptaan-Nya dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umatan wasatha agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)  manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kalian “(QS. Al Baqarah : 143)

Ini merupakan seruan bagi umat Islam untuk mengemban risalah (Islam) setelah Nabi Muhammad (wafat) kepada segenap manusia.  Rasulullah sungguh benar-benar memesankan hal itu setelah beliau sendiri menyampaikan risalah Islam, menunaikan amanah-Nya dan berjihad di jalan  Allah dengan sesungguhnya.  Rasulullah berdiri pada saat haji wada’ (haji perpisahan) menyeru kepada umat dengan sabdanya :

... وَ إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّواْ بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ : كِتَابَ اللهِ وَأَنْتُمْ مَسْؤُوْلُوْنَ عَنِّيْ , فَمَا أَنْتُمْ قَاءِلُوْنَ ؟ قَالُوْا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ.  ثُمَّ قَالَ بِأَصْبَعِهِ السِّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّماَءِ وَيُنْكِبُهَا إِلَى النَّاسِ : اَللَّهُمَّ اشْهَدْ , اَللَّهُمَّ اشْهَدْ اَللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Dan sungguh aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya yaitu kitabullah dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentangku.  Lalu apa yang kalian katakan ?  Mereka menyatakan : Kami menyaksikan bahwa engkau telah menyampaikan, engkau telah menunaikan dan engkau telah memberi nasihat.  Kemudian beliau berkata : sambil mengangkat tangannya ke langit sambil berbalik arah  : Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah .. “ (HR. Abu Dawud).

Demikianlah Nabi bersaksi atas kita dan mengemban amanah dan bersaksi kepada Allah atas kita.  Kewajiban kita setelahnya untuk mempersaksikan atas manusia dengan metode sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Allah sungguh telah menjelaskan bahwa tujuan ini merupakan tujuan penciptaan sebelum diciptakannya Nabi Adam.  Firman Allah :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dan ketika Rab-mu berfirman kepada para malaikat : “sesungguhnya Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah”.  Mereka (para malaikat) berkata : “apakah engkau hendak menjadikan di bumi orang-orang yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah ? Padahal kami senantiasa mensucikan Engkau. “  Allah berfirman :” Sesunggunya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” “ (QS. Al Baqarah : 30 ). 


Oleh karena itu, sesungguhnya tujuan dalam hidup yang dijelaskan oleh Allah  sebelum diciptakannya Nabi Adam a.s. adalah agar manusia menjadi hamba kepada Allah dan agar mengajak orang lain yaitu orang-orang yang sesat dalam penyembahannya atau yang menolaknya kepada  penyembahan (beribadah ) untuk hanya beribadah kepada Allah.

Khatimah

Atas dasar  itu maka hidup merupakan pertarungan pemikiran, pertarungan keyakinan, pertarungan politik antara keimanan dan kekufuran. Keyakinan untuk meninggikan kalimat Allah dan untuk menjadikan agama hanya untuk Allah, untuk menjadikan hukum-hukum hanya kepada Allah, supaya tidak ada sekutu yang disembah bagi-Nya, supaya tidak ada seorang pun yang disembah selain Dia, untuk menyempurnakan ketundukan kepada syari’at Allah. Dengan makna ini tentu merupakan pertarungan politik, sebab mewajibkan agar di sana tidak boleh ada pemeliharaan seluruh urusan manusia dengan syari’at apapun kecuali syari’at Islam. 
Wallahu ghalibun ‘ala amrihi walaakinna aktsarannaasi laa ya’lamuun!
            

Minggu, 24 Juli 2011

Membangun Kesadaran Spiritual

Oleh : Muhammad Riswan Kawanda

            Spiritualitas dalam diri manusia adalah perasaan tunduk dan tawadlu’ terhadap Sang Pencipta, Kekuasaan-Nya, dan Ilmu-Nya yang muncul lantaran kesadarannya terhadap hubungannya dengan Allah SWT, Pencipta Alam jagad raya ini.    (lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, hal. 14).  Kalau perasaan  ini bersifat kontinu, maka seorang muslim akan senantiasa hidup dalam suasana iman.  Dan itu akan membantunya untuk bisa terikat dengan syariah Allah SWT dengan perasaan ridlo dan hatinya tenteram. 
Sayang, manusia sering lupa diri, lupa Allah SWT, dan lupa penciptaan dirinya oleh Allah SWT.  Sehingga spiritualitas tidak muncul dalam dirinya. Allah SWT memberikan contoh orang seperti itu dalam firman-Nya:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"  (QS. Yasin 78).
           
Orang yang lupa itu merasa heran, bagaimana  mungkin tulang-belulang bisa dihidupkan kembali?  Meragukan kekuasaan Allah SWT.  Padahal amat mudah bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia pertama kalinya daripada sekedar mendaur ulang tulang-belulang itu.  
            Kenapa spiritualitas hilang pada diri seseorang?  Jawabannya tentu lantaran tidak adanya atau hilangnya kesadaran spiritual itu.  Maka bagaimana   mewujudkan kesadaran spiritual?  Dan bagaimana agar kesadaran spiritual itu bersifat kontinu? Tulisan ini akan menjelaskannya.

Mewujudkan kesadaran spiritual

            Untuk mewujudkan kesadaran spiritual, maka seseorang harus memiliki spirit terlebih dahulu.  Spirit dalam arti kesadaran hubungan dirinya dengan Allah SWT.  Untuk itu dalam dirinya harus ada terlebih dahulu keimanan kepada Allah SWT, Pencipta dirinya, alam semesta, dan seluruh kehidupan yang ada.  Itu tidak sulit.
Orang yang sedikit saja menggunakan akalnya untuk memikirkan keberadaan dirinya, kehidupannya, dan alam semesta yang ada di sekitarnya, akan menemukan kesimpulan bahwa di balik keberadaan manusia, alam semesta dan kehidupan di dunia ini, dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, ada Sang Pencipta (Al Khaliq) yang menciptakan semuanya itu.  Al Quran pun membimbing akal manusia  bahwa Sang Pencipta yang menjadi kreator dari alam semesta, manusia, dan kehidupan ini adalah Allah SWT.
            Wahyu yang datang pertama kali kepada Rasulullah saw. langsung membimbing manusia kepada keberadaan Sang Pencipta manusia.  Allah SWT berfirman:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al Alaq 1-2)
            Al Quran juga merangsang manusia untuk memperhatikan alam semesta di sekitarnya untuk memperkuat spirit atau kesadaran itu.  Allah SWT berfirman: 

أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(17)وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(18)وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(19)وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(20)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al Ghasyiyah 17-20).

            Setelah mengajak manusia memperhatikan bagaimana penciptaan onta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, Allah SWT langsung meminta kepada Rasulullah saw. untuk memberikan peringatan kepada manusia tentang adanya hubungan antara Allah SWT dengan makhluk-makhluk-Nya, yaitu hubungan penciptaan (shilatul-khalq).  Dia SWT berfirman:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.(QS. Al Ghasyiyah 21).

            As Shaabuni dalam Shafwatut Tafaasiir Juz III/526 menafsirkan ayat ini dengan : hai Muhammad, nasihatilah mereka dan peringatilah mereka agar takut kepada Allah,  dan janganlah memprihatinkan kamu bila mereka tidak memperhatikan dan memikirkan kejadian-kejadian alam yang ada. 
As Shabuni  (idem) menerangkan, hikmah disebutnya empat hal di atas  adalah bahwasanya Al Quran itu turun kepada bangsa Arab.  Mereka sering kali bepergian melewati padang-padang pasir dan lembah-lembah terpisah dari manusia.  Manusia bila jauh dari kota biasanya mudah merenung (tafakkur).  Pertama yang dia lihat adalah onta yang ditungganginya, dia akan melihat keajaiban.  Kalau dia melihat ke atas, maka tidak ada yang dia lihat selain langit.  Kalau dia melihat kanan kiri, maka tiada terlihat kecuali gunung-gunung.  Dan kalau dia melihat ke bawah, maka tiada yang dilihat kecuali bumi.  Ibnu Katsir, yang dikutip As Shabuni, mengatakan bahwa  Allah memberikan peringatan kepada orang Badwi agar mengambil bukti-bukti dari yang disaksikannya, yaitu onta yang dia tunggangi, langit yang ada di atas kepalanya, gunung yang ada di depannya, dan bumi yang ada di bawahnya,   atas kekuasaan pencipta dan pembuatnya, yaitu Tuhan yang Maha Agung (ar Rabbul Azhiim), Sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur jagad raya ini yang tidak layak ibadah dilakukan kepada selain Dia (Mukhtashor Ibnu Katsir Juz 3/634).    
Tentang keajaiban onta, As Shabuni mengutip kitab At Tashiil Juz 4/196 yang mengatakan : Allah SWT mengkhususkan menyebut onta (ibil) pada ayat di atas adalah karena onta merupakan binatang Arab yang paling utama, yang paling banyak manfaatnya yang dengannya dinamakan “perahu padang pasir” (safinatus shahraa).   Maka perhatikanlah penciptaannya yang ajaib.  Sebab, onta binatang padang pasir yang paling kuat.  Namun demikian dia tunduk pada anak kecil yang lemah.  Dia akan duduk untuk mendekatkan diri pada penumpangnya, lalu dia akan berdiri dengan membawa segala tumpangannya dengan segenap kekuatannya.  Juga, onta tahan  terhadap rasa lapar dan haus    dalam perjalanan berhari-hari.  Maha Suci Allay Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana!
                       
Agar kesadaran spiritual tetap kontinu

            Senantiasa “on” dalam kesadaran hubungan dengan Allah Sang Pencipta tidak mudah.  Tapi bukan mustahil.   Dan ini penting.  Sebab, terjadinya kemaksiatan dan berbagai pelanggaran hukum Allah SWT adalah lantaran terjadinya “off” pada kesadaran hubungan dengan Allah SWT dan hilangnya spiritualitas pada diri seseorang.  Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

َلا يَزْنِي الزَّانِيُ حِيْنَ يَزْنِيُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلاَ يُسْرِقُ حِيْنَ يُسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ...
“Seorang pezina tidak akan berzina, jika saat berzina ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan meminum khamer jika saat meminumnya ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan mencuri jika saat mencuri itu ia dalam keadaan mukmin,…” (HR. Bukhariy)

Oleh karena itu, agar perbuatan kita senantiasa lurus, kita wajib mengupayakan agar kesadaran spiritual kita tetap kontinu. 
Dan Islam memberikan berbagai jalan agar kesadaran spiritual itu tetap kontinu, antara lain: Pertama,  senantiasa memperbaharui keimanan (tauhid) dan komitmen sebagai hamba Allah SWT yang membutuhkan petunjuk, pertolongan, dan perlindungan-Nya.  Hal ini ditempuh dengan dzikir kalimat lailahaillallah, dan diperkuat dengan kalimat-kalimat dzikir lainnya seperti tasbih, tahmid, takbir, dan istighfar.  Dilakukan setiap selesai sholat wajib, dan setiap kali ada kesempatan, khususnya malam hari menjelang tidur.  
Kedua, berusaha memahami dan merasakan apa yang dibaca di dalam sholat, seperti pernyataan penyerahan diri dalam doa iftitah:

«وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ حَنِيْفاً مُسْلِماً وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى، ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ، وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Aku hadapkan wajahku kehadirat Sang Pencipta langit dan bumi sepenuh ketundukan dan kepasrahan diri, dan bukanlah aku dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Sang Penguasa semesta alam. Tiada sekutu apa pun bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintahkan sedang aku termasuk dari orang-orang muslim.” 

Demikian pula pada saat mengucapkan kalimat :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus,(QS. Al Fatihah 5-6).

Ketiga, gemar bertafakkur dan memiliki tradisi berfikir, khususnya memikirkan dan memperhatikan keberadaan ciptaan-ciptaan Allah SWT. Allah menggelari Ulil Al Abab (Orang Yang Berakal) kepada orang yang senantiasa mengingat-Nya dan juga memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya (lihat QS. Ali Imran 191). 
Keempat, memperbanyak membaca ayat-ayat Al Quran yang mengungkap aspek spiritual dari manusia, kehidupan, dan alam semesta sehingga spirit dan kesadaran spiritual dalam diri kita semakin meningkat (misal: QS. Ar Ra’du 1-7, An Nahl  1-21, Ar Ruum 19-27)
Kelima, memperbanyak membaca ayat-ayat yang menghubungkan dunia dengan akhirat, sehingga ada kesadaran bahwa hidup ini tidak hanya di dunia saja.  Ada akhirat, dan segala sesuatu yang dilakukan di dunia pasti akan berdampak ke akhirat (misal: QS. Al Baqarah 281, Ali Imran 25, AL An’am 70, Al Muddatsir 38).
Keenam, memperbanyak puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, puasa hari putih (tiap tanggal 13,14,15 Hijriyah), hari Arafah (9 Dzulhijjah), hari Asyura (10 Muharram), dan hari Tasu’a (9 Muharram) sesuai dengan keterangan dalam hadits-hadits.  
Ketujuh, senantiasa berupaya memecahkan persoalan-persoalan dengan syariah Allah SWT sebagai upaya memadukan kesadaran hubungan dengan Allah dengan perbuatan kita dalam rangka mencari ridlo-Nya.  Para sahabat dulu biasa bertanya kepada Rasulullah saw. terhadap persoalan mereka.(lihat: QS. Al Baqarah 215, Al Anfal 1, Mujaadilah 1).
Dengan demikian seorang muslim akan sadar bahwa keberadaannya di dunia tiada lain kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.  Ia akan senantiasa berdisplin melaksanakan ibadat yang difardlukan dan gemar melaksanakan ibadat sunnah.  Saat dia berdiri di atas batu di tepi laut, dia sadar betul bahwa batu tempatnya berpijak adalah ciptaan Allah SWT.  Saat dia melihat ikan-ikan kecil yang bergerak berkejaran di dalam air dengan berbagai gerak dan kecepatannya yang khas, ia sadar bahwa kreator di balik fenomena itu adalah Allah SWT.  Saat dia hendak mengambil ikan untuk dia makan, dia sadar bahwa Allah telah mensucikan air laut dan menghalalkan bangkai ikannya.  Tatkala melihat transaksi para nelayan dan pedagang ikan di dermaga, dia sadar bahwa Allah menghendaki agar kaum muslimin hanya berdagang atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan, tidak saling menzalimi, tidak saling mencurangi, dan tidak memakan harta saudaranya dengan cara batil.  Kalau dia seorang penguasa muslim, ia sadar, bahwa nelayan dan pedagang itu berhak atas kemudahan bermuamalah, keadilan, dan kesejahteraan hidup.  Namun ia lebih sadar lagi bahwa, sebagai penguasa, dialah yang wajib memenuhi hak-hak rakyat itu.

Khatimah
Itulah sedikit gambaran orang yang telah terbangun kesadaran spiritualnya. Kesadaran spiritual yang tidak hanya di wilayah privat, tapi juga meliputi wilayah publik. Semoga kita termasuk orang seperti itu.  Amin, ya Rabbal Alamin!     

Jilbab Bukan Simbol 
Tapi Suatu Kewajiban
( Oleh : Muhammad Riswan Kawanda )
             
Hukum Jilbab
           
Dalam pembahasan syariat Islam dipahami adanya hukum-hukum yang bersifat tauqifiyah, yang artinya sebuah ketentuan Allah tentang sebuah hukum yang status hukumnya tetap, tidak berubah, tidak dikaitkan dengan ‘illat (sebab disyariatkannya suatu hukum).  Misalnya, wajibnya shalat lima waktu bukanlah dikarenakan adanya sebab untuk  mendisiplinkan umat Islam yang konsekuensinya manakala umat Islam telah disiplin maka hukum sholat lima waktu tidak wajib lagi. Atau wajibnya puasa Ramadhan bukanlah dalam rangka menjaga kesehatan  kaum muslimin, sehingga konsekuensinya kalau kondisi kesehatan kaum muslimin telah baik sekali lalu kewajiban puasa itu menjadi gugur.  Hal ini berlaku pada perkara-perkara status hukum ibadah, makanan, minuman, akhlaq dan pakaian.  Islam mewajibkan perempuan muslimah manakala keluar rumah memakai jilbab dan kerudung (khimar) tanpa ilat atau alasan hukum tertentu yang apabila alasan itu tidak ada  kewajibannya menjadi hilang. 
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum adalah QS 24: 31 dan QS 33: 59.  Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat itu dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh.  Keduanya wajib dikenakan oleh wanita dalam kehidupan umum.  Mengenai pakaian wanita bagian atas, Allah berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(QS. AN Nuur 31).

Maksudnya, hendaknya para wanita menghamparkan kain penutup kepala, leher dan dadanya (sebatas 3 lubang kancing untuk dapat memasukkan baju ke kepalanya).

Mengenai pakaian wanita bagian bawah, Allah SWT berfirman:
 يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(QS. AL Ahzaab 59).
Maksudnya, hendaknya para wanita mengulurkan pakaian yang dikenakan pada bagian luar pakaian kesehariannya jika mereka hendak keluar rumah.  Pakaian tersebut (baca: jilbab) berupa kain panjang (milhafah) atau semacam selimut (mula’ah) yang diulurkan sampai ke bawah.  Tentang cara mengenakan pakaian luar tersebut, Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak pada dirinya.”
Maksudnya, janganlah mereka menampakkan tempat perhiasan dan anggota tubuh mereka seperti dua telinga, dua lengan, dua betis kaki, dua mata kaki, dll, kecuali apa yang biasa tampak pada diri mereka di dalam kehidupan umum.  Ketika ayat ini turun, yakni pada jaman Rasulullah saw, yang biasa tampak pada diri wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Ummu ‘Athiyah berkata:
“Rasulullah saw telah memerintahkan kepada kami untuk keluar (menuju lapangan) pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha; baik wanita tua, yang sedang haid, maupun perawan.  Wanita yang sedang haid menjauh darikerumunan orang yang shalat, tetapi mereka menyaksikan kebaikan dan seruan yang ditujukan kepada kaum muslim.  Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah saw, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.  “Beliau kemudian bersabda, “Hendaklah salah seorang saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
            Dari hadits ini ada 2 point pemahaman yang dapat kita ambil.  Pertama, semua muslimah disunnahkan untuk menghadiri sholat idhul adha, tetapi harus memakai jilbab.  Ditegaskan bahwa jika ada yang tidak memiliki jilbab, maka temannya harus meminjamkannya.  Berarti jilbab itu wajib dipakai ketika keluar rumah.
            Kedua, hadits di atas menyiratkan tentang jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan wanita diatas pakaian kesehariannya (yang biasa digunakan di dalam rumah).  Karena ketika ummu Athiyah bertanya tentang seseorang yang tidak memiliki jilbab, tentu wanita tersebut bukan dalam keadaan telanjang, melainkan dalam keadaan memakai pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah yang tidak boleh dipakai untuk keluar rumah.  Dan wanita yang tidak mempunyai jilbab harus meminjam kepada saudaranya.  Jika saudaranya tidak bisa meminjamkannya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah.
            Jadi hadits yang dituturkan oleh Ummu ‘Athiyyah menerangkan secara tegas tentang kewajiban wanita untuk mengenakan pakaian luar (jilbab) di atas pakaian kesehariannya ketika hendak keluar rumah.  Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa kewajiban berjilbab keluar rumah adalah bagi wanita muslimah yang telah aqil baligh. Aqil artinya ber akal, waras, atau tidak gila.  Sedangkan baligh artinya dia telah menstruasi.

Syariat Jilbab Menjaga Kehormatan

Dari Qs. Al Ahzab 59 di atas dapat kita ketahui adalah bahwa hikmah mengenakan jilbab adalah supaya lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu.  Pada waktu itu orang-orang fasik berani menggoda para budak wanita (amah) yang berjalan di malam hari di jalan-jalan untuk membuang hajat atau memenuhi kebutuhan lainnya.  Orang fasik tidak berani mengganggu wanita muslimah.  Sebab pelecehan terhadap wanita muslimah akan menerima hukuman yang besar, lebih-lebih mereka mengetahui bagaimana tindakan tegas Rasulullah saw. terhadap Bani Nadlir yang melecehkan wanita muslimah di pasar Yahudi.  Dan dengan identitas wanita muslimah seperti itu, maka segala gangguan dan pelecehan terhadap mereka pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin secara keseluruhan.  
            Nyatalah bahwa Islam memandang wanita sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga dan dipelihara.  Islam mensyariatkan pakaian jilbab dan khimar adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu.  Nabi saw. bersabda: “Wanita itu adalah aurat”.  Berarti badan wanita itu harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya.  Jika aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka wanita itu dilecehkan kehormatannya.  Maka para wanita yang tidak memakai pakaian syar’I (legal) di depan umum, yakni jilbab dan kerudung, berarti dia menyia-nyiakan payung hukum baginya, yakni menjaga kehormatannya sendiri dengan menutup auratnya dengan mengenakan pakaian khusus pada saat keluar rumah.  Wanita yang mengobral auratnya sesungguhnya telah menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Ini tidak diperkenankan dan pelakukanya bisa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman untuk mendidik) oleh negara.  Dalam sistem peradilan Islam hakim(qadli), misalnya bisa menjatuhkan hukuman jilid pada wanita yang keluar rumah dengan tanpa mengenakan jilbab dan kerudung dan jika mengulangi lagi wanikta akan diasingkan selama 6 bulan (lihat Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, hal 289).

Khatimah

            Sebagian orang yang kurang mengerti agama Islam mengatakan bahwa jilbab itu bukan pakaian yang wajib dikenakan seorang muslimah, yang penting justru pakaian taqwa. Ini kira-kira sama dengan orang yang mengatakan sholat itu tidak penting, yang penting “eling”, ingat kepada Allah atau dia mengatakan shaum itu tidak penting, yang taqwa.   Padahal orang yang taqwa dan ingat kepada Allah SWT Sang Pembuat Syariat ini tentu diakan dengan tulus ikhlas melaksanakan shalat dan puasa, sebagaimana seorang muslimah yang beriman dan taat kepada-Nya akan dengan ikhlas dan hati lapang mengenakan kerudung dan jilbabnya.  Sebab jilbab itu bukan simbol untuk dipamerkan, tapi suatu kewajiban syariat yang mesti dijalankan dengan dasar taqwa dan keikhlasan demi mencapai ridlo-Nya.  Wallahua’lam bisshowab!